Pentingnya Pendidikan Seksualitas Komprehensif dan Perlindungan Bagi Perempuan!

Sepanjang tahun 2011 lalu, telah terjadi kurang lebih 40 kasus perkosaan di wilayah Jakarta dan sekitarnya (Jabodetabek). Tiga diantaranya terjadi di Angkutan Umum, kemudian kasus lainnya terjadi di lingkungan perumahan, kantor, dan pusat keramaian. Kasus perkosaan di Angkutan Kota yang sempat menjadi berita utama di berbagai media telah menunjukan ketidaknyamanan publik, yang kemudian turut menjadi keprihatinan tersendiri bagi para penggerak perjuangan dan penggerak sosial pada umumnya. Sebenarnya, bagaimanakah sistem keamanan perempuan di ruang publik? Seperti apakah kepedulian Pemerintah? Dan adakah perlindungan bagi korban – perempuan?

Pada banyak kasus perkosaan, korban cenderung sulit bahkat sama sekali tidak bisa melapor; tidak mau melapor, tidak mengerti proses pelaporan, takut, malu, diancam, atau bahkan akses terhadap proses-proses peradilan hukum yang tidak jelas, menyebabkan semakin bertambahnya tantangan dalam upaya penyelesaian berbagai masalah Kekerasan Terhadap Perempuan, terutama pelecehan seksual dan perkosaan. Para aparat negara kebanyakan – dengan cara pandang yang masih diskriminatif – malah mempersulit bahkanmenimbulkan masalah baru bagi korban.

Awal bulan Maret 2013, portal online KOMPAS.com meliput kasus pelecehan seksual di suatu kota di luar Jakarta, dimana si korban juga dilecehkan secara seksual oleh oknum Polisi yang menangani pengaduan kasusnya. Bahkan,si pelaku adalah Kepala Polisi Sektoral (Kapolsek) setempat. Namun sampai sekarang, keluarga korban tidak bisa mengadukan perbuatan yang dilakukan dan pelaku malah menghasut korban sebagai penyebab pelecehan itu terjadi. Lalu, bagaimana masyarakat mencari perlindungan kepada aparat negara, apabila oknum pelindungnya – polisi saja berlaku seperti ini?

Lemahnya keamanan bagi perempuan di ruang publik, minimnya akses peradilan hukum yang terjangkau bagi korban untuk menuntut, kualitas pelayanan aparat negara yang tidak begitu baik – yang juga kerap menjadi pelaku kekerasan baru, serta kondisi sosial-ekonomi-budaya masyarakat menjadi tantangan-tantangan besar bagi perempuan yang seolah tidak ada habisnya. Belum lagi stigma yang dialamatkan masyarakat kepada korban; menyudutkan, mencaci, merendahkan, bahkan menyalahkan korban sering tergambar lewat pemberitaan di media. Korban kekerasan seksual harus melalui proses yang begitu rumit dan sistem yang tidak ramah, belum lagi pengetahuan akan isu seksualitas masih sangat rendah, dianggap tabu, atau bahkan tertutup sama sekali untuk dibicarakan.

Hal tersebut juga diperparah dengan sistem pendidikan Hak-Hak Seksual dan Kesehatan Reproduksi (HKSR) bagi remaja/pelajar Sekolah Menengah yang tidak memadai, sehingga masyarakat dan anak muda pada umumnya harus mencari sendiri informasi tentang Hak-Hak Seksual dan Kesehatan Reproduksi (HKSR)melalui media yang mudah di capai, walau tingkat keakuratannya masih diragukan, dan informasi yang tersedia belum komprehensif.

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (KomnasPerempuan), Yayasan PULIH, LBH APIK, Yayasan Jurnal Perempuan dan berbagai lembaga pendampingan sudah mencoba mendampingi korban, mengurus litigasi, memberikan pendidikan gender dan seksualitas, konseling-konseling, juga Rumah Aman bagi korban, tapi dengan sumber daya seadanya dan dana yang pas-pasan.

PWAG Indonesia dengan berbagai lembaga lainnya, memulai riset dan kegiatan untuk memberikan program pendidikan seksualitas bagi remaja, melalui workshop atau sharing belajar bersama Hak-Hak Seksual dan Kesehatan Reproduksi (HKSR) dengan pendekatan Hak Asasi Manusia (HAM) di tiga kota (pilot project) wilayah konflik khusus untuk pelajar SMA, ditambah workshop untuk para guru sebagai gerbang awal terbukanya pendidikan mengenai Hak-Hak Seksual dan Kesehatan Reproduksi (HKSR) bagi remaja.

Untuk itu, PWAG Indonesia menuntut Pemerintah Daerah Khusus Ibukota (DKI)Jakarta, serta sejumlah pihak terkait lainnya untuk:

  1. Memastikan keamanan, kelayakan, dan perlindungan bagi perempuan di ruang publik, kendaraan public, atau angkutan publik, sesuai dengan prinsip perlindungan bagi masyarakat dan kenyamanan warga yang ada dalam penataan kota.
  2. Berkoordinasi dengan Dinas Transportasi/Perhubungan atau pemerintah yang terkait, untuk menegakkan hukum, implementasi hukum, atau perda terkait, untuk urusan pengadaan angkutan publik yang aman, dengan awak kendaraan yang memiliki integritas dan sanksi berat bagi pelanggaran keamanan yang terjadi dalam angkutan publik.
  3. Bekerjasama dengan masyarakat sipil dan organisasi pendampingan korban, melakukan kerjasama dengan pihak aparat hukum dan kepolisian bagi perlindungan dan keamanan yang lengkap bagi perempuan di ruang publik.
  4. Mengadakan lebih banyak infrastruktur pendukung bagi Perawatan dan Pemulihan Survivor (korban) kekerasan seksual yang sesuai dengan standar perlindungan dan pemulihan survivor, bekerjasama dengan shelter atau rumah aman yang sudah ada, atau organisasi pendampingan korban yang sudah berjalan, untuk membuka jaringan rumah aman yang lebih komprehensif dimanapun.
  5. Mendukung lembaga-lembaga yang sudah bekerja bagi pendampingan korban harus didukung oleh pemerintah, baik secara kerjasama program, maupun alokasi dana yang memungkinkan agar lembaga ini bisa berkembang lebih luas dan bertahan, mengingat begitu banyaknya kasus yang masih terjadi.
  6. Bagi pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan, harus memastikan aturan dan pelaksanaan pendidikan gender, HAM, hak seksualitas dan kesehatan reproduksi (kespro) baik bagi guru, maupun siswa, di segala level, mulai dari SD sampai Perguruan Tinggi, demi menciptakan generasi yang sadar gender dan mengerti isu seksualitas, sebagai awal pembangunan generasi yang anti kekerasan, juga awal usaha baik pemerintah bagi eliminasi Kekerasan Seksual terhadap Perempuan dan Kekerasan Terhadap Perempuan Secara umum.

Tanpa perhatian pemerintah kota,atau lembaga pemerintah lainnya bagi penyelesaian dan penhapusan kasus-kasus kekerasan seksual, maka pemerintah melupakan pentingnya usaha perlindungan dan implementasan Hak Asasi Manusia bagi warganya, baik itu kelompok perempuan maupun kelompok marjinal lainnya. Sudah saatnya pemerintah serius mengurus penghapusan kekerasan seksual dan pendidikan hak seksualitas dan kespro yang lebih baik, mulai dari sekarang, bekerjasama dengan lembaga yang memang sudah melakukan pendampingan sampai sekarang ini.

PWAG Indonesia akan bergabung juga dalam Komite Hari Perempuan Internasional 8 maret 2013, di Bunderan HI dengan berbagai lembaga. ****(Peace Women Across the Globe Indonesia)


© 2024: Yayasan Pendidikan Kesehatan Perempuan | Developed by: ozzynich.com | Powered by Wordpress